Selasa, 29 Maret 2011

Oh My (not so ) Long Distace Marriage

Last night, just like what we do in almost every Sunday night, I took my husband to the bus station, he kissed me and then he said to me: “would you do me a favor? Slip a wish in your pray, asked Him to give me the opportunity to be with you and our baby, together”. I didn’t say anything, but nodded, when he walked away, my tears rolled.
Okay, pembukaannya agak drama sih..(based on true story, of course), adegan ini kami lakukan hampir setiap minggu (dengan variasi dialog ) tapi emosi yang kami rasakan sama, kehilangan juga sedih (T_T).

Ilustrasi Perjalanan Papa dari Surabaya ke Jojga

Sejak menikah sekitar hampir 3 tahun, kami berpisah ranjang ( dalam arti yang sebenarnya) selama paling tidak 5 hari, at week end we share a bed ( yeeeeyyy..). well, pernikahan kami sih belum bisa di bilang lama, tapi agak lumayan lama he he, tapi karena efek long distance jadi masih berasa newbie gitu (tapi ditambah anak, rumah berantakan, and pinjaman di bank ) he he he. Hey, salah satu nilai plus dari long distance marriage itu, “newbie wed sparks “ yang masih on fire ^^,

Tapi banyak hari dimana saya merasa merana contohnya :
  1. Waktu bebe boy sakit
  2. Waktu saya sakit
  3. Waktu saya dan bebe boy sakit
  4. Waktu kehabisan uang ( he he he )
  5. Waktu belanja sendiri dan waktu belanja bareng bebe boy ( aaaarrggghh…I cant stop yelling)
  6. Waktu saya sendirian
  7. dan waktu - waktu dimana saya butuh suami saya ( which almost every time, terutama waktu saya menangis )
Bahkan dulu ( waktu masih baru dikantor )  teman-teman kantor memberi saya level “the poor girl”, yang merupakan bentuk simpati kepada saya yang jablay , ketemu suami Cuma seminggu sekali (tapi sekarang level penderitaan saya dikalahkan teman saya yang suaminya pulang setiap 10 bulan sekali) ck.ck..ck ternyata saya masih kurang bersyukur. Suami saya cuma kerja di Surabaya, ternyata ada temen yang suaminya kerja di luar negeri ( yang mengalahkan level saya), ada yang kerja di luar pulau jawa, ada yang bahkan waktu untuk ketemu tidak pasti.
 Well, untuk menyadari kalau saya sangat berutung saya butuh waktu yang agak lama ( itulah kalau terlalu focus dengan level penderitaan) seharusnya saya melihat level kebahagiaan saya, Bebe Boy yang sehat, cerdas ( banyak yang mengakui lho not because I’m his mommy ^^,) Suami yang penyayang, sabar dan setia ( saya sudah menyiapkan rajah anti selingkuh he he )

The Working Mommy’s Chronicle

Pagi tadi seperti biasa saya menggunakan waktu di lampu merah untuk kontemplasi ( yeah , I know, agak aneh memang , tapi sudah jadi kebiasaan). Saat asik merenung ( sebenernya lagi mbatin mbak – mbak sebelah saya yang bajunya agak melanggar Fashion Law ck..ck  ck ) saya  melihat anak kecil yang berlarian diatas trotoar, wah saya langsung celingukan mencari ibu si anak, bahaya sekali meninggalkan anak kecil main-main sendiri di jalan. Sebentar saja saya sudah menemukan si Ibu sedang berdiri di belakang mobil yang berhenti, well, ternyata she was his playmate (^^,). Sedang bermain petak umpet di trotoar jalan raya, hal pertama terlintas di pikiran saya adalah bahaya sekali (>_<). Tapi setelah itu saya melihat si Ibu menenteng gitar kecil, now I Know, mereka memang hidup dijalan.
Ilustrasi Bebe Boy sendirian (T_T)
Saya  pernah mendengar seorang teman mencela Ibu-ibu yang membawa anak mereka bekerja di jalanan, well memang bukan tindakan yang bijaksana membawa anak ketengah – tengah polusi , tapi saya coba melihat dari sisi yang lain, kalau saja ibu-ibu yang bekerja di jalan mempunyai lebih banyak pilihan or you can say opportunies, saya yakin mereka akan memilih pilihan yang lebih baik. Mereka akan memilih menitipkan anak mereka ke day care ( seperti saya misalnya), atau menitipkan ke kakek neneknya ( kalau ada dan mampu untuk menjaga cucu mereka ), atau menjaga mereka dirumah, jika saja mereka punya rumah yang nyaman dan tidak harus mencari uang untuk sekedar makan. They just doing what best they can do.
Surprisingly, saat melihat ibu dan anak itu berpelukan dan tertawa bersama kemudian berdua mereka melompat ke dalam bis seakan- akan melompat ke dalam wahana bermain, saya merasa iri.  Mereka terlihat sangat bahagia. Saya kemudian teringat Bebe Boy, safe and sound in his day care, saya baru akan menemuinya sore nanti, saat badan saya penat, kepala saya penuh dengan tunggakan pekerjaan, dan saya hampir tidak bisa menyisakan tenaga untuk sekedar bermain petak umpet. Saya sempat berharap saya bisa membawa bebe boy bekerja bersama saya, memeluknya sepanjang hari, tertawa bersamanya setiap saat, tapi saya tidak bisa ( selain karena bebe boy akan memporak porandakan dokumen – dokumen saya, juga karena pekerjaan saya tidak akan selesai  (T_T) ).
Sebenarnya, persaaan bersalah seperti ini saya rasakan hampir setiap saat, tapi karena pemandangan ibu dan anak tadi pagi, rasanya semakin menyesakkan. Suatu hari saya pernah bertanya pada Mama saya (  the working mom with 4 girls ) did she feel what I feel?, She said, every time. Menjadi Ibu yang bekerja, rasa bersalah adalah beban yang harus ditanggung, itu sudah satu paket.
Kemudian saya menyadari satu hal lain, mommies dengan caranya masing – masing akan melakukan, memberikan, yang terbaik untuk anaknya. Baik mommies dengan kesempatan besar, maupun mommies dengan kesempatan terbatas. And for my mom, who never fail to make me feel save whenever she holds me, I LOVE YOU MOM, always. (I always wish I could be a mother just like you)